BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ciri-Ciri Ilmu
Pengetahuan
Ciri
pengetahuan ilmiah adalah persoalan dalam ilmu yang segera dipecahkan dengan
maksud untuk memperoleh jawaban. Dalam hal ini ilmu muncul dari adanya problema
dan harus dari suatu problema, tetapi problema telah diketahuinya sebagai suatu
persoalan yang tidak terselesaikan dalam pengetahuan sehari-harinya. Di samping
itu, setiap ilmu dapat memecahkan masalah sehingga mencapai suatu kejelasan dan
kebenaran, walaupun bukan kebenaran akhir yang abadi dan mutlak
Ilmu pengetahuan atau pengetahuan
ilmiah menurut The Liang Gie (1987) mempunyai 5 ciri pokok:
a.
Empiris, pengetahuan di peroleh berdasarkan
pengamatan dan percobaan
b.
Sistematis, berbagai keterangan dan data
yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan yang mempunyai hubungan
ketergantungan dan teratur
c.
Objektif, ilmu berarti pengetahuan bebas
dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi
d.
Analisis, pengetahuan ilmiah berusaha
membeda-bedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang terperinci untuk memahami
berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu.
e.
Verifikatif, dapat diperiksa
kebenarannya oleh siapapun juga.
Daoed
Joesoef (1987) menunjukkan bahwa pengertian ilmu mengacu pada tiga hal, yaitu:
Ø Produk
: ilmu pengetahuan sebagai produk, yaitu pengetahuan yang telah diketahui dan
diakui kebenarannya oleh masyarakat ilmuwan. Pengetahuan ilmiah dalam hal ini
terbatas pada kenyataan-kenyataan yang mengandung kemungkinan untuk disepakati
dan terbuka untuk diteliti, diuji, dan dibantah oleh seseorang.
Ø Proses : ilmu pengetahuan sebagai proses artinya,
kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan demi penemuan dan pemahaman dunia alami
sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki. Metode ilmiah yang
dipakai dalam proses ini adalah analisis rasional, objektif, sejauh mungkin
“impersonal” dari masalah-masalah yang didasarkan pada percobaan dan data yang
dapat di amati.
Ø Masyarakat
: ilmu pengetahuan sebagai masyarakat artinya dunia pergaulan yang
tindak-tanduknya, perilaku dan sikap serta tutur katanya diatur oleh empat
ketentuan yaitu universalisme, komunalisme, tanpa pamrih, dan skeptisisme yang
teratur.
Van melsen (1985) mengemukakan ada
delapan ciri yang menandai ilmu, yaitu serbagai berikut.
a. Ilmu
pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang secara logis
koheren. Itu berarti adanya sistem dalam penelitian (metode) maupun harus
susunan logis.
b. Ilmu
pengetahuan tanpa pamrih, karena hal itu erat kaitannya dengan tanggung jawab
keilmuan.
c. Universitas
ilmu pengetahuan.
d. Objektivitas,
artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak didistorsi oleh
prasangka-prasangka subjektif.
e. Ilmu
pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah yang
bersangkutan, karena itu ilmu pengetahuan harus dapat dikomunikasikan.
f. Progresivitas,
artinya suatu jawaban ilmiah harus bersifat ilmiah sungguh-sungguh, bila
mengandung pertanyaan baru dan menimbulkan
problem baru lagi.
g. Kritis,
artinya tidak ada teori yang definitif, setiap teori terbuka bagi suatu
peninjauan kritis yang memanfaatkan data-data baru.
h. Ilmu
pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan kebertautan antara teori
dengan praktik.
Mohammad hatta, mendefinisikan ilmu
adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu
golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari
luar, maupun menurut bangunannya dari dalam. Karl pearson, mengatakan ilmu
adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta
pengalaman dengan istilah yang sederhana. (Amsal Bakhtiar, 2004:15)
Demi objektivitas ilmu, ilmuan harus
bekerja dengan cara ilmiah. Sifat ilmiah dalam ilmu dapat diwujudkanm apabila
dipenuhi syarat-syarat yang intinya adalah:
a. Ilmu
harus mempunyai objek ini berarti bahwa kebenaran yang hendak di ungkapkan dan
dicapai adalah persesuaian antara pengetahuan dan objeknya.
b. Ilmu
harus mempunyai metode, ini berarti bahwa untuk mencapai kebenaran yang objektif,
ilmu tidak dapat bekerja tanpa metode yang rapi.
c. Ilmu
harus sistematik, ini berarti bahwa dalam memberikan pengalaman, objeknya
dipadukan secara harmonis sebagai suatu kesatuan yang teratur.
d. Ilmu
bersifat universal, ini berarti bahwa kebenaran yang di ungkapkan oleh ilmu
tiadak mengenai sesuatu yang bersifat khusus, melainkan kebenaran itu berlaku
umum. (Hartono Kasmadi, dkk., 1990:8-9)
Disamping itu perlu disadari, bahwa ilmu bukanlah
hal yang statis, melainkan bergerak dinamis sesuai dengan pengembangan yang
diusahakan oleh manusia dalam mengungkap tabir alam semesta ini. Usaha
pengembangan tersebut mempunyai arti bahwa kebenaran yang telah diungkap oleh
ilmu tertentu adalah kebenaran yang masih terbuka untuk diuji.[1]
Ciri – ciri ilmu
pengetahuan menurut Creative Commons Atribution 3.0 license yaitu:
1. Merupakan seperangkat pengetahuan yang sistematis
2. Memiliki metode yang efektif
3. Memiliki objek
4. Memiliki
rumusan kebenaran-kebenaran umum
5. Bersifat
objektif
6. Dapat
memberikan perkiraan atau prediksi
2.2 Dasar-Dasar Pengetahuan
1.Penalaran
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam
menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya
merupakan makhluk yang berfikir, merasa, bersikap dan bertindak. Sikap dan
tindakanya yang bersumber pada pengetahuan itu dapat didapatkan lewat kegiuatan
merasa dan berpikir. Tetapi tidak semua kegiatan berfikir itu menyadarkan diri
pada penalaran. Jadi penalaran merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai
karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran.
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan
pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak
sama maka oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan
pengetahuan yang benar itu berbeda-beda.
Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran
mempunyai ciri-ciri tertentu :
a) Adanya
suatu proses berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Dalam hal ini penalaran merupakan suatu
proses berpikir yang logis, dimana berpikir logis ini harus diartikan dengan
sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola atau logika tertentu.
b) Adanya
sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran
ilmiah merupakan suatu kegiatan yang menyadarkan diri kepada sesuatu analisis
dan kerangka berpikir yang dipergunakan untuk analisa tersebut adalah logika
penalaran yang bersangkutan. Sifat analitik merupakan konsekuensi dari adanya
suatu pola berpikir tertentu, tanpa adanya pola berpikir tersebut maka tidak
akan ada kegiatan analisis, sebab analisis pada hakikatnya merupakan suatu
kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.
2. Logika
“Logika didefinisikan sebagai pengkajian untuk berpikir
secara shahih”. Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan, dalam
penalaran ilmiah ada dua jenis penarikan kesimpulan :
1. Logika
Induktif
Logika ini erat hubungannya dengan
penarikan kesimpulan dari kiasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang
bersifat umum.
2. Logika
Deduktif
Logika ini menarik kesimpulan dari hal
yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual (khusus).
3. Sumber Pengetahuan
Rasionalisme dan empiris merupakan cara untuk
mendapatkan pengalaman, tetapi disamping itu ada juga instuisi dan wahyu yang
merupakan cara lain untuk mendapatkan pengetahuan. Instiusi merupakan
pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seorang
yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan
jawaban atas permasalahannya tersebut tanpa harus berpikir berliku-liku untuk
mencapai jawaban tersebut. Sedangkan wahyu merupakan pengetahuan yang
disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan melkalui
nabi-nabi yang diutusnya sepanjang zaman.
4. Kriteria Kebenaran
Matematika adalah bentuk pengetahuan yang
penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori koheren. Beberapa dasar
pernyataan yang dianggap benar yakni aksioma. Dengan mempergunakan beberapa
aksioma maka disusun teorema. Di atas teoremamaka dikembangkan kaidah-kaidah
matematika yang secara keseluruhan merupakan suatu system yang konsisten. Plato
(427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) mengembangkan teori koherensi
berdasarkan pola pemikiran yang dipergunakan Eusclid dalam menyusun ilmu
ukurnya.
Paham lain adalah kebenaran berdasarkan teori
korespondensi dimana eksponen utamanya adalah Betrand Russell (1872-1970). Bagi
penganut ini maka suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang
dikandung pernyataan itu berkorenspondensi (berhubungan) dengan obyek yang
dituju oleh pernyataan tersebut. Kedua teori ini adalah teori koherensi dan
teori korespondensi yang kedua-duanya digunakan dalam cara berpikir ilmiah.
Penalaran teoristis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori
koherensi ini. Sedangkan prioses pembuktian secara empiris dalam bentuk
pengumpulan fakta fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu mempergunakan
teori kebenaran yang lain yang disebut teori kebenaran pragmatis.
Teori pragmatis dicetuskan oleh Charles S.Peirce
(1839-1914) dalam makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to
make our ideas clear”. Bagi orang pragmatis maka kebenaran itu suatu pernyataan
diukur dengan criteria apakah apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional
dalam kehidupan prilaku. Artinya suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan
itu berkonsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam
kehidupan manusia.[2]
2.3 Berfikir Filosofis
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok
orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang
sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat
dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
Suatu ilmu tidak akan mungkin muncul tanpa adanya pemikiran dan pemikiran tersebut adalah filsafat. Disamping itu juga peran filsafat dalam keilmuan juga sangat kompleks, untuk menjadikan suatu keilmuan yang utuh dibutuhkan analisa dan pemikiran
yang mendalam terkait objek yang dikaji sehingga menjadi keilmuan tersendiri dan putus dari filsafat,
tapi sebelumnya juga harus memenuhis yarat-syarat keilmiahan dan syarat-syarat keilmiahan pun munculnya dari filsafat[3].
Ciri-ciri berfikir filsafat
:
1.
Berfikir radikal
Berfilsafat berarti berfikir secara radikal, Filsuf adalah berfikir secara radikal .karena berfikir secara radikal, ia tidak akan pernah terpaku hanya pada fenomena entitas tertentu. Keradikalan berfikirnya itu akan senantiasa mengorbankan hasratnya untuk menemukan akar seluruh kenyataan.
Berfikir radikal tidak berarti hendak mengubah,membuang atau menjungkirbalikkan segala sesuatu
,melainkan dalam arti yang sebenarnya yaitu berfikir secara mendalam untuk mencapai akar persoalan
yang dipermasalahkan.
2.
Mencari asas
Dalam memandang keseluruhan realitas, filsafat senantiasa berupaya mencari asas
yang paling hakiki dari keseluruhan realiatas. Seorang filsuf akan slalu berupaya untuk menemukan asas yang paling hakiki dari relitas
Mencari asas pertama berarti juga berupanya menemukan sesuatu yang menjadi esensi realitas. Dengan menemukan esensi suatu realitas ,maka realitas itu dapat diketahui dengan pasti dan menjadi jelas .dan mencari asas adalah salah satu sifat dasar filsafat.
3.
Memburu kebenaran
Filsuf adalah pemburu kebenaran. kebenaran yang diburunya adalah kebenaran hakiki Tentang seluruh relitas dan setiap hal yang dapat dipersoalkan. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa berfilsafat berari memburu kebenaran tentang segala sesuatu.
Kebenaran
yang hendak digapai bukanlah kebenaran yang meragukan. Untuk memperoleh kebenaran
yang sungguh-sungguh dapat dipertanggungjawabkan ,setiap kebenaran yang telah diraih harus senantiasa terbuka untuk dipersoalkan kembali dan diuji demi meraih kebenaran yang lebih pasti ,bahwasannya kebenaran filsafat itu tidak pernah bersifat mutlak dan
final.
4.
Mencari kejelasan
Salah satu penyebab lahirnya filsafat ialah keraguan. Untuk menghilangkan keraguan dibutuhkan kejelasan. Ada
filsuf yang menyatakan bahwa berfilsafat berarti berupaya mendapatkan kejelasan
dan penjelasan mengenai seluruh realitas, dengan demikian dapat dikatakan bahwa
berfikir secara filsafat itu berarti berusaha memperoleh kejelasan. Ini
terlihat bahwa berfilsafat sesungguhnya merupakan suatu perjuangan untuk
mendapatkan kejelasan pengertian dan kejelasan seluruh realitas. Perjuangan
mencari kejelasan itu adalah salah satu sifat dasar filsafat.
5.
Berfikir rasional
Berfikir secara radikal
, mencariasas , memburu kebenaran
,dan mencari kejelasan tidak mungkin dapat berhasil dengan baik tanpa berfikir secara rasional.
Berfikir secara rasional berarti berfikir logis, sistematis dan kritis. Berfikir logis adalah bukan
sekedar menggapai pengertian-pengertian yang dapat diterima oleh akal sehat,
melainkan agar sanggup menarik kesimpulan dan mengambil keputusan yang tepat dan
benar dari premis-premis yang digunakan[4].